Hubungan antara manusia dengan
pendidikan diawali dari pertanyaan : apakah manusia dapat didik? Ataukah
manusia berkembang sendiri menjadi dewasa tanpa perlu dididik?
Kedua pertanyaan itu sejak lama
telah menjadi bahan kajian para ahli didik barat, yaitu sejak zaman yunani kuno.
Pendapat yang umumnya dikenal dalam pendidikan barat mengenai mungkin tidaknya
manusia dididik terangkum dalam tiga aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran
tersebut diantaranya: nativisme, empirisme, dan konvergensi.
Menurut nativisme, manusia tidak
perlu dididik, sebab manusia sepenuhnya ditentukan oleh bakat pada dirinya.
Sedangkan menurut penganut empirisme adalah perkembangan dan pertumbuhan
manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran ini
memandang pendidikan berperan penting dan sangat menentukan arah perkembangan
manusia.
Adapun aliran ketiga, yaitu
konvergensi merupakan perpaduan antara kedua pendapat tersebut. Menurut mereka
memang manusia memiliki kemampuan dalam dirinya (bakat/potensi), tetapi potensi
itu hanya akan berkembang jika ada pengarahan pembinaan serta bimbingan dari
luar (lingkungan).
Manusia memang hampir tak mungkin
berkembang secara maksimal tanpa intervensi pihak luar, dan oleh sebab itu
manusia memerlukan pendidikan.
Adapun filsafat pendidikan islam
meletakkan hubungan manusia dengan pendidikan atas dasar prinsip penciptaan,
peran, dan tangguung jawab manusia.[1]
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai penerima
dan pelaksana ajaran. Oleh karena itu ditempatkan pada kedudukan yang mulia.
Sesuai kedudukannya yang mulia itu, Allah menciptakan manusia itu dalam bentuk
fisik yang bagus dan seimbang. Dan Allah melengkapinya dengan akal dan perasaan
yang memungkinkannya menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan
membudayakan ilmu yang dimilikinya.[2]
Pengetahuan adalah suatu yang
diketahui oleh manusia melalui pengalaman, informasi, perasaan atau melalui
intuisi. Ilmu pengetahuan merupakan hasil pengolahan akal(berfkir) dan perasaan
tentang sesuatu yang diketahui itu.
Sebagai makhluk yang berakal,
manusia mengamati sesuatu, hasil pengamatan itu diolah sehingga menjadi ilmu
pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan itu dirumuskan ilmu baru yang akan
digunakan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjangkau jauh diluar
yang membuat manusia dapat hidup menguasai alam ini. Untuk itulah maka islam
memerintahkan pemeluknya untuk belajar.[3]
Makhluk pedagogik adalah makhluk Allah yang
dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik. Makhluk itu adalah
manusia. Dialah yang memiliki potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu
menjadi pendukung dan pengembang kebudayaan. Dia dilengkapi dengan fitrah
Allah, berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan
keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk
yang mulia. Pikiran, perasaan dan kemampuanya berbuat merupakan komponen dari
fitrah itu. Itulah fitrah Allah yang dilengkapi penciptaan manusia.[4]
Firman Allah:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur
ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym
4 |NtôÜÏù
«!$#
ÓÉL©9$# tsÜsù
}¨$¨Z9$#
$pkön=tæ 4 w
@Ïö7s? È,ù=yÜÏ9
«!$#
4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r&
Ĩ$¨Z9$#
w
tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Artinya: Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.(QS. Ar-Rum: 30)
Fitrah Allah Adalah ciptaan Allah.
Manusia dicptakan Allah memiliki naluri beragama, yaitu agama tauhid. Fitrah
adalah bawaan manusia sejak lahir yang didalamnya terkandung tiga potensi dengan
fungsi masing-masing. Pertama, potensi akal yang berfungsi untuk mengenal tuhan,
mengesakan Allah dan, mencintainya. Kedua, potensi syahwat yang berfungsi untuk
menginduksi objek-objek yang menyenangkan. Ketiga potensi gadhab yang berfungsi
menghindari segala yang membahayakan.[5]
Ayat diatas menghubungkan makna
fitrah dan agama Allah(din). Hubungan fitrah dengan din tidak bertentangan
malah sebaliknya yang melengkapi keduanya.
Penekanan mengenai hakekat makna
fitrah yang sesungguhnya secara lebih terperinci lagi berasal dari ayat dibawah
ini yang menandai bahwa Allah telah membuat perjanjian kesaksian (amanat)
dengan manusia agar berlaku adil dan baik hati. Dalam QS. Al-A’raf (17). Allah
berfirman:
øÎ)ur
xs{r&
y7/u
.`ÏB
ûÓÍ_t/
tPy#uä
`ÏB
óOÏdÍqßgàß
öNåktJÍhè
öNèdypkôr&ur
#n?tã
öNÍkŦàÿRr&
àMó¡s9r&
öNä3În/tÎ/
(
(#qä9$s%
4n?t/
¡
!$tRôÎgx©
¡
cr&
(#qä9qà)s?
tPöqt
ÏpyJ»uÉ)ø9$#
$¯RÎ)
$¨Zà2
ô`tã
#x»yd
tû,Î#Ïÿ»xî
ÇÊÐËÈ
Artinya: dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Ayat di atas membuktikan, bahwa
Allah menjanjikan kepada manusia agar mengakui Allah ini illahnya dan
sesembahannya. Namun kapan dan bagaimana perjanjian itu dibuat?
Suatu tafsiran mengatakan, bahwa
Allah mengeluarkan keturunan anak adam dari sulbi bapak-bapak mereka. Sedang
tafsir lain menunjukkan, yang dimaksud anak cucu adam adalah dari adam itu
sendiri. Tafsiran pertama melukisakan ayat sama untuk mendukung pandangannya,
yakni ayat yang mengatakan “dari sulbi mereka” bukan dari sulbinya. Secara
implisit mengatakan termasuk juga selain adam. Tafsir kedua menjelaskan adanya
hadist-hadist Nabi SAW yang menunjukkan adam sendirilah yang mewakili peristiwa
kejadian satu-satunnya dari asal-usul keturunan adam yang digambarkan
berkesinambungan.[6]
Firman Allah yang berbentuk potensi itu tidak
akan mengalami perubahan dengan pengertian bahwa manusia terus dapat berfikir.
Merasa dan bertindak dan dapat terus berkembang. Fitrah inilah yang membedakan
antara manusia dengan makhluk Allah lainnya dan fitrah ini pulalah yang membuat
manusia itu istimewa dan lebih mulia yang sekaligus berarti bahwa manusia
adalah makhluk pedagogik.[7]
Allah telah menciptakan semua makhluk-Nya ini
berdasarkan fitrah-Nya. Tetapi fitrah Allah untuk manusia yang disini
diterjemahkan dengan potensi dapat dididik dan mendidik, memiliki kemungkinan
berkembang dan meningkat sehingga kemampuanya dapat melampaui jauh dari
kemampuan fisiknya yang tidak berkembang.
Meskipun demikian, kalau potensi itu tidak
dikembangkan, niscaya ia akan kurang bermakna dalam kehidupan. Oleh karena itu
perlu dikembangkan dan pengembangan itu senantiasa dilakukan dalam usaha dan
kegiatan pendidikan. Teori Nativis dan empiris yang dipertemukan oleh
Kerschenteiner dengan teori Konvergensinya, telah ikut membuktikan bahwa
manusia itu adalah makhluk yang dapat dididik dan dapat mendidik. Dengan
pendidikan dan pengajaran potensi itu dapat dikembangkan manusia, meskipun
dilahirkan seperti kertas putih, bersih belum berisi apa-apa dan meskipun ia
lahir dengan pembawaan yang dapat berkembang sendiri, namun perkembangan itu
tidak akan maju kalau tidak melalui proses tertentu, yaitu proses pendidikan.
Kewajiban mengembangkan potensi itu merupakan beban dan tanggung jawab manusia
kepada Allah. Kemungkinan pengembangan potensi itu mempunyai arti bahwa manusia
mungkin dididik, sekaligus mungkin pula bahwa pada suatu saat nanti ia akan
mendidik. Kenyataan dalam sejarah memberikan bukti bahwa memang manusia secara
potensial adalah makhluk yang pantas dibebani kewajiban dan tanggung jawab,
menerima dan melaksanakan ajaran Allah. Ajaran yang dibebankan kepada manusia
untuk melaksanakannya. Setiap umat islam dituntut supayaberiman dan beramal
sesuai dengan petunjuk yang digariskan ileh Allah dan Rasul-Nya. Tetapi
petunjuk itu tidak datang begitu saja kepada setiap orang, seperti kepada Nabi
dan Rasul, melainkan harus melalui usaha dan kegiatan. Karena itu, usaha dan
kegiatan membina pribadi agar beriman dan beramal adalah suatu kewajiban
mutlak. Usaha dan kegiatan itu disebut pendidikan dalam arti yang umum. Dengan
kalimat lain dapat diartikan bahwa pendidikan adalah usaha dan kegiatan
pembinaan pribadi. Adapun materi, tujuan dan prinsip serta cara pelaksanaannya
dapat dipahami dalam petunjuk Allah yang disampaikan oleh para Rasul-Nya.[8]
Dalam
ajaran Islam bertakwa itu wajib, tetapi tidak mungkin bertakakwa itu tercapai
kecuali dengan pendidikan, maka pendidikan itu juga wajib. Dan manusia adalah
makhluk pedagogik, maka kewajiban menyelenggarakan pendidikan Adalah kewajiban
syar’i yang berarti pula bahwa perintah bertakwa adalah sekaligus perintah
menyelenggarakan pendidikan yang maju kepada pembinaan manusia bertakwa.[9]
Jelas bahwa fitrah tersebut
mengandung potensi dasar untuk beragama lurus yaitu agama Allah. Fitrah
tersebut tidak dapat diartikan sebagai jiwa yang suci bersih yang kosong dan
kemampuan potensial untuk dikembangkan, pengertian dari firman Allah tersebut
berbeda dengan teori tabulae rasae (meja lilin atau kertas putih.
Begitu pula sabda Muhammad
Rasulullah SAW. Berikut ini mengandung pengertian yang sama dengan kandungan
ayat di atas; oleh karena manusia memiliki fitrah manusia beragama itulah, maka
ia dapat didik untuk beragama yahudi, nasrani, atau majusi.
Benih kejiwaan yang bersifat umum
yang terkandung dalam makna fitrah itulah yang menjadi dorongan internal
berproses secara interaktif dorongan pengaruh pendidikan yang dilakukan oleh
pendidikan yaitu orang tuanya sendiri sebagai pendidik pertama.
Kemampuan belajar dan mengajar
(didik dan mendidik) manusia termasuk komponen fitrah juga. Ayat-ayat yang
diturunkan Allah pertama-tama memerintahkan nabi Muhammad SAW. Dari umatnya
untuk belajar membaca dan menulis dengan kalam sebagai berikut:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Artinya:
“bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.”
Firman Allah yang lain menunjukkan
bahwa manusia untuk belajar memperoleh ilmu pengetahuan, diberi kelengkapan
organ-organ tubuh seperti telinga, mata, dan hati guna menangkap
pengertian-pengertian dan obyek yang dipelajari.
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
Artinya:
dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.
Di samping kemampuan untuk
mengembangkan diri melalui proses belajar, manusia juga sebagai makhluk yang
diwajibkan untuk mengajar atau mendidik orang lain karena memang ia telah
diberi fitrah sebagai pendidik atau pengajar.[10]
Cara yang tepat untuk mengembangkan
dan memelihara fitrah manusia ini adalah melalui pendidikan, karena pendidikan
mencakub berbagai dimensi: akal, perasaan, kehendak dan seluruh unsur kejiwaan
manusia serta bakat-bakat dan kemampuannya. Pendidikan berupaya mengembangkan
bakat dan kemampuan individual, sehingga potensi-potensi kejiwaan itu dapat
diakutualisasikan secara sempurna, karena potensi-potensi itu sesungguhnya
merupakan kekayaan dalam diri manusia.
Jika dilihat dari segi kemampuan
dasar paedagogis, manusia dipandang sebagai homo edukandum yaitu makhluk yang
harus dididik, oleh karena itu, manusia dikategorikan sebagai animal educable,
yaitu makhluk sebangsa hewan yang dapat dididik. Manusia dapat dididik karena
memiliki akal, mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan (homo sapiens),
disamping manusia memiliki kemampuan untuk berkembang dan membentuk dirinya
sendiri.[11]
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah
membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari
tahap ketahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara
fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan
berjalan dengan lancar.[12]
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa manusia
itu terdiri atas dua aspek yang esensial, yaitu tubuh dan jiwa.[13]
Dahulu manusia dianggap sebagai seekor hewan ditambah sesuatu yang ekstra (roh,
akal budi). Manusia manusia didefinisikan animal rationale (Aristoteles),
seekor hewan yang dilengkapi dengan akal budi. Gambaran itu kini sangat
berubah. Disatu pihak manusia lebih dekat pada hewan-hewan, dengan satu cara
yang diliputi kabut rahasia ia muncul dari alam hewani dengan meninggalkan
sifat-sifat seekor hewan. Di lain sudut, selaku makhluk hidup sebagai sebuah
organisme jasmaniah, ia berbeda dengan hewan-hewan.[14]
Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menggunakan
empat istilah dalam membahas tentang esensi manusia yaitu: Qalb, Ruh, Nafs, dan
Aql. Pengertian masing-masing istilah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hati (Qalb) ialah yang halus, ketuhanan dan bersifat kerohanian, ia dengan
hati yang bertubuh ada hubungannya. Yang halus itu hakekat manusia.
2. Ruh adalah yang halus, yang mengetahui, dan yang merasa dari manusia.
3. Jiwa (Nafs) yaitu yang halus, yang telah kami sebutkan yakni hakikat
manusia, diri dan zatnya.
4. Akal (Aql) kadang ditunjukkan dan dimaksudkan yang memperoleh pengetahuan,
dan itu adalah hati yakni yang halus.... kadang ditunjukkan dan dimaksudakan
tempat pengetahuan yang mengetahui.
Penggunaan keempat istilah diatas menunjukkan
bahwa kajian Al-Ghazali terhadap esensi manusia sangat mendalam, menyertai
sepanjang perkembangan pemikirannya.[15]
Proses tejadinya manusia sesuai dengan firman
Allah dalam QS. Al-Hijr: 28-29.
øÎ)ur tA$s%ÏmÏù
`ÏB ÓÇrr
(#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y
ÇËÒÈ y7/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9
ÎoTÎ)
7,Î=»yz #\t±o0 `ÏiB
9@»|Áù=|¹ ô`ÏiB :*yJym
5bqãZó¡¨B ÇËÑÈ #sÎ*sù
¼çmçF÷§qy àM÷xÿtRur
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud.[16]
Dapat dipahami bahwa pandangan Al-ghazali
mengenai terciptanya manusia, ia terbentuk dari dua unsur yang sifatnya berbeda
yakni: bentuk luar yang di sebut jasad dan bentuk dalam yang disebut hati atau
ruh.[17]
Ada beberapa ansumsi yang memungkinkan manusia
itu perlu mendapatkan pendidikan:
1. Manusia dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya. Manusia begitu lahir ke
dunia, perlu mendapat uluran orang lain untuk dapat melangsungkan kehidupannya
2. Manusia lahir tidak langsung dewasa. Untuk sampai kepada dewasa yang
menjadi tujuan pendidikan dalam arti khusus memerlukan waktu yang relatif
panjang.
3. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Ia tidak akan menjadi
manusia, seandainya tidak hidup bersama dengan manusia lagi.[18]
[1] Jalaludin, teologi pendidikan , RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2003, Hlm. 46-47.
[3] Ibid.,Hlm. 3.
[5] Hasan bisri,dkk., filsafat
pendidikan islam, pustaka setia, Bandung, 2009, Hlm. 31.
[6] Abdurrahman saleh Abdullah,
teori-teori pendidikan berdasarkan Al-qur’an, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
Hal. 56-57.
[11] Ahmad syar’i, filsafat pendidikan islam, pustaka firdaus, Jakarta,
2005, Hlm. 15.
[15] Abidin Ibnu Rusn. Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta. 1998. Hlm. 31.
0 komentar:
Posting Komentar