BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Muamalah
merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata
cara hidup sesama uamat manusia untuk memenuhi keperluannya sehari-hari yang bertujuan
untuk memberikan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup, untuk saling
tolong-menolong serta untuk mempererat silahturahmi karena merupakan proses perkenalan.
Dalam melakukan
muamalah perlu bagi kita untuk mengetahui pedoman dan tatanannya, sehingga
tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan
hubungan sesama manusia. Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman,
akhlakul karimah, dan pengetahuan tentang seluk beluk mu’amalah hendaknya
dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku muamalah itu.
Berdasarkan
latar belakang tersebut, dalam makalah ini akan membahas tentang salah satu
kegiatan muamalah yaitu Musaqah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian Masaqah ?
2. Bagaimana
dasar dan Rukun Musaqah?
3. Bagaimana
hikmah masaqoh?
4. Apa
Pengertian Muzaro’ah dan Mukhobaroh?
5. Bagaimana
Dasar Hukum dan rukun Muzaro’ah dan Mukhobaroh?
6. Apa
Hikmah Muzaro’ah dan Mukhobaroh?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Musaqah
1.
Pengertian
Secara
etimologi, Musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh penduduk
madinah disebut Mu’ammalah. Secara terminologi, Musaqah disefinisikan oleh para
ulama Fiqih sebagai berikut: Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, Musaqah ialah: “Akad untuk pemeliharaan pohon kurma,
tanaman (Pertanian), dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.
Menurut Ibn
‘Abidin yang dikutip Nusrun Harun , Masaqah adalah “Penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan digarap dan
dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu”.
Ulama’ Syafi’iyah mendefinisikan: “Mempekerjakan
petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara
mengairi dan merawatnya, dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara
pemilik dan petani yang menggarap”.
Dengan demikian,
akad musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan petani
penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga
memberikan hasil yang maksimal. Kemudian, segala sesuatu yang dihasilkan pihak
kedua berupa buah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai
dengan kesepakatan yang mereka buat.
Kerjasama dalam
bentuk masaqah ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman,
karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan
hasilnya yang belum tentu.
Menurut
kebanyakan ulama, hukum Masaqah yaitu boleh atau mubah, berdasarkan sabda
Rasulullah saw:” Dari ibnu umar,
sesungguhnya Nabi SAW, telah memerintahkan kepada penduduk khaibar agar
dipelihara oleh mereka dengan perjanjian, mereka akan memperoleh dari
penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil tanamannya”. (HR.
Muslim).[1]
Para Ulama Ahli
Fiqih dari kota besar para sahabat, para tabi’in, dan para imam madzhab sepakat
atas bolehnya musyaqah, yaitu mengupah buruh untuk menyiram tanaman,
menjaganya, dan memeliharanya, dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut.
Hanya Hanafi yang menyatakan batalnya, dan tidak ada seorang ulama pun yang
berpendapat demikian Selain Hanafi.[2]
2. Rukun
Musaqah
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi
rukun dalam akad musaqah adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan, kabul dari
petani penggarap dan pekerja dari pihak penggarap. Adapun jumhur ulama fiqih
yang terdiri dari ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah berpendirian
bahwa rukun masyaqah ada lima, yaitu:
a. Dua
orang/pihak yang melakukan transaksi
b. Tanah
yang dijadikan objek musaqah
c. Jenis
usaha yang akan dilakukan petani penggarap
d. Ketentuan
mengenai pembagian hasil Masaqah
e. Shighat
(Ungkapan) Ijab dan Qabul
3. Syarat
Musaqah
Adapun Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
masing-masing Rukun sebagai berikut:
a. Kedua
belah Pihak yang melakukan transaksi Musaqah harus orang yang cakap bertindak
hukum, yakni dewasa (akil Balig) dan berakal)
b. Objek
musaqah itu harus terdiri dari pepohonan yang memiliki buah. Dalam menentukan
objek musaqah ini terdapat perbedaan pendapat ulama Fiqih. Menurut ulama
Hanafiyah yang boleh menjadi objek musaqah adalah pepohonan yang berbuah,
seperti kurma, anggur, dan terong. Akan tetapi, ulama hanafiyah mutaakhirin
menyatakan, musaqah juga berlaku pada pepohonan yang tidak memiliki buah, jika
hal ini dibutuhkan oleh masyarakat. Ulama malikiyah, menyatakan bahwa yang
menjadi objek musaqah itu adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma,
terong apel, dan anggur dengan syarat bahwa:
1) Akad
musaqah itu dilakukan sebelum buah itu layak dipanen.
2) Tenggang
waktu yang ditentukan jelas.
3) Akadnya
dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.
4) Pemilik
perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu.
Menurut ulama Hambaliyah, yang boleh dijadikan objek
musaqah adalah terhadap tanaman yang buahnya boleh dikonsumsi. Oleh sebab itu,
Musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak memiliki buah.
Adapun ulama Syaf’iyah berpendapat bahwa yang boleh dijadikan
objek akad masaqah adalah kurma dan anggur saja.
c. Tanah
itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung
untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.
d. Hasil
(buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak yang mereka bersama, sesuai
dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, tiga , dan sebagainya.
e. Lamanya
perjanjian harus jelas, karena transaksi ini sama dengan transaksi sewa menyewa
agar terhindar dari ketidak pastian.
4. Berakhirnya
Akad Musaqah
Menurut para ulama Fiqih, akad
musaqah berakhir apabila:
a. Tenggang
waktu yang disepakati dalam akad telah
habis.
b. Salah
satu pihak meninggal dunia.
c. Ada
Uzur yang membbuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad
5. Hikmah
Musaqah
Dalam
hal ini ada beberapa hikmah, antara lain :
a. Menghilangkan
kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga dapat mencukupi
kebutuhannya.
b. Saling
tukar manfaat di antara manusia.[3]
c. Memberi
kesempatan pada orang lain untuk bekerja dan menikmati hasil kerjanya, sesuai
dengan yang dikerjakan. Sementara itu, pemilik kebun/tanah garapan memberikan
kesempatan kerja dan meringankan kerja bagi dirinya.[4]
B.
PENGERTIAN
MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
1.
Pengertian
Secara Etimologi, Muzara’ah (المزرعة) adalah wazan مفاعلة dari kata الزرع yang sama artinya dengan الاءنبات (menumbuhkan). Menurut Terminologi syara’, para ulama berbeda
pendapat antara lain:
a. Ulama’
Malikiyah: Muzara’ah disebut Pengkongsian adalah Bercocok tanam
b. Ulama’
Hambaliyah: Muzara’ah adalah Menyerahkan tanah kepada orang yang bercocok tanam
atau mengelolanya, sedangkan tanaman (Hasilnya)
tersebut dibagi antar keduanya.
c. Ulama
Syafi’iyah membedakan antara muzara’ah dan Mukhobarah: Mukhabarah adalah
mengelola tanah atas sesuatu yang dihasilkan dan benihnya berasal dari
pengelola. Adapun muzara’ah sama seperti mukhobarah, hanya saja benihnya
berasal dari pemilik tanah.[5]
d. Syekh
Ibrahim Al-Bajuri berpendapat bahwa muzara’ah adalah pekerja mengelola sawah
dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.[6]
e. Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang
lain untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.[7]
Dari beberapa definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa :
Muzara’ah
yaitu paron sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang,
sedangkan benihnya dari yang punya tanah. Mukhabarah
adalah paron sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan
benihnya dari petani(penggarap).[8]
2.
DASAR
HUKUM
Sebagian ulama melarang paron tanah semacam ini.
Mereka beralasan pada beberapa hadist yang melarang paron tersebut. Hadist itu
ada dalam kitab Bukhari dan Muslim, Di antaranya:
Rafi’ bin khadij berkata, “diantara Ansor yang paing
banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk
kami dan sebagian untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagin tanah
itu berhasil dan baik dan yang lain tidak berhasil, oleh karena itu Rasulullah
SAW melarang paron dengan cara demikian.” (HR. Bukhori).
Ulama lain berpendapat tidak ada halangan. Pendapat
ini dikuatkan oleh imam Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khattabi, mereka mengambil
alasan Hadist Ibnu Umar: Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi saw. Telah memberikan
kebun beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan
perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan,baik dari buah-buahan
maupun dari hasil pertahun(Palawija),.”(HR. Muslim).[9]
Imam Hanafiyah dan Jafar tidak mengakui keberadaan
muzara’ah dan menganggapnya fasid. Begitu pula imam Syafi’i, tetapi sebagian
ulama Syafi’iyah mengakuinya dan mengkaitkannya dengan musaqah (Pengelolaan
Kebun) dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi mereka, tidak membolehkan
Mukhabarah sebab tidak ada landasan yang membolehkannya.
Golongan Ulama Hanafiyah, jafar, Imam Syafi’i
berpendapat bahwa Kerja sama Nabi dengan orang Khaibar dalam mengelola tanah
bukan termasuk Muzara’ah dan Mukhobarah, melainkan pembagian atas hasil tanaman
tersebut dengan membaginya. Seperti dengan sepertiga atau seperempat, dari
hasilnya yang didasarkan anugrah (tanpa biaya) dan kemaslahatan. Hal itu
diperbolehkan.
Abu yusuf, dan Muhammad (sahabat imam Abu Hanifah),
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Abu Dawud Azh-Azahiri berpendapat bahwa Muzara’ah
Diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Jama’ah
dari ibnu Umar bahwa Nabi SAW. Bermuamlah dengan Ahli Khaibar dengan setengah
dari sesuatu yang dihasilkan dari tanaman, baik buah-buahan maupun maupun
tumbuh-tumbuhan. Selain itu muzaro’ah dapat dikategorikan perkongsian antara
harta dan pekerjaan, sehingga kebutuhan pemilik dan pekerja dapat terpenuhi.
Tidak jarang pemilik tidak dapat memelihara tanah, sedangkan pekerja mampu
memeliharanya dengan baik, tetapi tidak memiliki tanah. Dengan demikian,
dibolehkan sebagaimana dalam mudhorobah.[10]
3.
Rukun
dan Sifat Akad Muzara’ah
Jumhur ulama yang membolehkan akad muzaro’ah
mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi sehingga akad dianggap sah.
Rukun muzaro’ah menurut
mereka sebagai berikut:
a) Pemilik
tanah
b) Petani
penggarap
c) Objek
Al-Muzaro’ah, dan
d) Ijab
dan kabul
Setiap muslim yang akan melaksanakan akad muzara’ah,
harus mengetahui syarat-syarat muzara’ah, antara lain:
a) ‘Aqidain,
yakni harus berakal dan Balig.
b) Tanaman
harus jelas.
c) Tanah
pertanian, yaitu:
1) Tanah
itu menurut Adat boleh digarap dan menghasilkan.
2) Batas-batas
tanah itu Jelas.
3) Tanah
itu diserahkan ke petani sepenuhnya.
d) Hasil
Panen :
1) Pembagian
hasil panen dibagi masing-masing pihak harus jelas.
2) Hasil
itu benar-benar milik bersama orang yang berakad.
e) Waktu,
syaratnya adalah:
1) Waktunya
telah ditentukan,
2) Waktu
itu telah memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti menanam padi
waktunya kurang lebih 4 bulan (tergantung teknologi yang dipakainya) atau
menurut kebiasaan setempat, dan
3) Waktu
tersebut memungkinkan kedua belah pihak hidup menurut kebiasaan.[11]
4.
Hikmah
Muzara’ah
Bumi diciptakan untuk kepentingan manusia, maka
manusialah yang harus mengolahnya, menanaminya dengan berbagai jenis tanaman
untuk kepentingannya juga sebagai bentuk syukur kepada Allah swt. atas segala
karunianya. Maka sangat penring bagi manusia umtuk menuntut ilmu tentang
pertanian agar lebih maksimal mandapatkan manfaat dari bumi yang diolahnya
dengan cara bertani.
Muzara’ah menjadikan pemilik tanah dan penggarap
tanah bersinegi untuk bersama-sama mendapatkan bagian atas apa yang sudah
disumbangkan kedua belah pihak dengan penuh keikhlasan dan rida atas dasar
saling tolong-menolong dan percaya sehingga saling menguntungkan tidak saling
merugikan.[12]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara
pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan
dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal.
Rukun Musaqah:
1.
Dua orang/pihak yang melakukan
transaksi.
2.
Tanah yang dijadikan objek musaqah
3.
Jenis usaha yang akan dilakukan petani
penggarap
4.
Ketentuan mengenai pembagian hasil
Masaqah.
5.
Shighat (Ungkapan) Ijab dan Qabul
Muzara’ah yaitu paron sawah atau ladang, seperdua,
sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani (orang yang
menggarap). Mukhabarah adalah paron
sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan
benihnya dari yang punya tanah.
B.
SARAN
Dari
penjelasan kami di atas kami menyadari masih banyak hal yang belum
terselesaikan dalam makalah ini. Kami menyadari akan keterbatasan dan
kekurangan baik dalam penulisan, pemahaman, dan sumber rujukan. Oleh karena
itu, kami berharap semoga hal-hal yang belum terselesaikan dalam makalah ini
dapat diselesaikan oleh pemakalah lain dan kami membuka kritik dan saran yang
sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
ad-Dimasyqi, Muhammad. 2014. Fiqih empat Mazdhab. Bandung: Hasyimi
Gazali,
Abdurrahman. dkk. 2015. Fiqih Muamalah. Jakarta: PRENADA MEDIA GRUP
Rasjid, Sulaiman. 2014. Fiqih Islam. Bandung:
Sinar Baru Algensindo
Syafi’i, Rahmat. Fiqih
Mu’amalah. 2001. Bandung: Pustaka Setia
http://syafaatuletika.blogspot.co.id/2012/06/musaqah-muzaraah-dan- mukhabarah.html,
diakses tangggal 13 november 2015, jam 05.50
[1] Abdurrahman
Gazali, dkk., Fiqih Muamalah, (Jakarta: PRENADAMEDIA GRUP, 2015), Hal. 109-110
[2] Muhammad bin
Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih empat Mazdhab, (Bandung: Hasyimi,2014), Hal. 278
[3] Ibid., Hal.
110-113
[4] http://syafaatuletika.blogspot.co.id/2012/06/musaqah-muzaraah-dan-mukhabarah.html, diakses tangggal 13 november 2015, jam
05.50
[5] Rakhmat
Syafi’i, Fiqih Mu’amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) Hal. 205-204
[6] http://syafaatuletika.blogspot.co.id/2012/06/musaqah-muzaraah-dan-mukhabarah.html, diakses tangggal 13 november 2015, jam
05.50
[7] Abdurrahman
Gazali, dkk, Op.cit., Hal. 114
[8] Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014) Hal. 301
[9] Ibid., Hal.
302
[10] Rachmat
Syafi’i, Op.cit., Hal. 206-207
[11] Abdurrahman
Al-Gazali. Dkk, Op.cit., Hal., 115-117
[12] http://syafaatuletika.blogspot.co.id/2012/06/musaqah-muzaraah-dan-mukhabarah.html, diakses tangggal 13 november 2015, jam
05.50