Gambar Anjing yang Nurut

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

PRAKTIK PROFESI LAPANGAN (PPL) DI MADRASAH TSANAWIYAH NU NURUSSALAM BESITO GEBOG KUDUS TAHUN 2016/2017

Tugas Mata Kuliah Praktik Profesi Lapangan (PPL) Program Studi Pendidikan Agama Islam Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus yang di laksanakan pada tanggal 25 Juli 2010 s/d 31 Agustus 2016 di MTs NU Nurussalam Gebog Kudus

Manfaat yang dapat diambil dari Silaturrahmi

manfaat yang dapat diambil dari silaturrahmi diantaranya yaitu dapat menumbuhkan rasa ...........

Wisata Pantai Bandengan Jepara

Pantai Bandengan sebagai tempat wisata di kota Jepara yang ramai dikunjungi oleh wisatawan Lokal.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 28 Maret 2016

MUSAQOH MUZARO’AH DAN MUKHABARAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Muamalah merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama uamat manusia untuk memenuhi keperluannya sehari-hari yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup, untuk saling tolong-menolong serta untuk mempererat silahturahmi  karena merupakan proses perkenalan.
Dalam melakukan muamalah perlu bagi kita untuk mengetahui pedoman dan tatanannya, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia. Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlakul karimah, dan pengetahuan tentang seluk beluk mu’amalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku muamalah itu.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam makalah ini akan membahas tentang salah satu kegiatan muamalah yaitu Musaqah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Masaqah ?
2.      Bagaimana dasar dan Rukun  Musaqah?
3.      Bagaimana hikmah masaqoh?
4.      Apa Pengertian Muzaro’ah dan Mukhobaroh?
5.      Bagaimana Dasar Hukum dan rukun Muzaro’ah dan Mukhobaroh?
6.      Apa Hikmah Muzaro’ah dan Mukhobaroh?








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Musaqah
1.      Pengertian
Secara etimologi, Musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh penduduk madinah disebut Mu’ammalah. Secara terminologi, Musaqah disefinisikan oleh para ulama Fiqih sebagai berikut: Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, Musaqah ialah: “Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (Pertanian), dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.
Menurut Ibn ‘Abidin yang dikutip Nusrun Harun , Masaqah adalah “Penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu”. Ulama’ Syafi’iyah mendefinisikan: “Mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya, dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dan petani yang menggarap”.
Dengan demikian, akad musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian, segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
Kerjasama dalam bentuk masaqah ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan hasilnya yang belum tentu.
Menurut kebanyakan ulama, hukum Masaqah yaitu boleh atau mubah, berdasarkan sabda Rasulullah saw:” Dari ibnu umar, sesungguhnya Nabi SAW, telah memerintahkan kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian, mereka akan memperoleh dari penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil tanamannya”. (HR. Muslim).[1]
Para Ulama Ahli Fiqih dari kota besar para sahabat, para tabi’in, dan para imam madzhab sepakat atas bolehnya musyaqah, yaitu mengupah buruh untuk menyiram tanaman, menjaganya, dan memeliharanya, dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut. Hanya Hanafi yang menyatakan batalnya, dan tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian Selain Hanafi.[2]
2.      Rukun Musaqah
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad musaqah adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan, kabul dari petani penggarap dan pekerja dari pihak penggarap. Adapun jumhur ulama fiqih yang terdiri dari ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah berpendirian bahwa rukun masyaqah ada lima, yaitu:
a.       Dua orang/pihak yang melakukan transaksi
b.      Tanah yang dijadikan objek musaqah
c.       Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap
d.      Ketentuan mengenai pembagian hasil Masaqah
e.       Shighat (Ungkapan) Ijab dan Qabul
3.      Syarat Musaqah
Adapun Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing Rukun sebagai berikut:
a.       Kedua belah Pihak yang melakukan transaksi Musaqah harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil Balig) dan berakal)
b.      Objek musaqah itu harus terdiri dari pepohonan yang memiliki buah. Dalam menentukan objek musaqah ini terdapat perbedaan pendapat ulama Fiqih. Menurut ulama Hanafiyah yang boleh menjadi objek musaqah adalah pepohonan yang berbuah, seperti kurma, anggur, dan terong. Akan tetapi, ulama hanafiyah mutaakhirin menyatakan, musaqah juga berlaku pada pepohonan yang tidak memiliki buah, jika hal ini dibutuhkan oleh masyarakat. Ulama malikiyah, menyatakan bahwa yang menjadi objek musaqah itu adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma, terong apel, dan anggur dengan syarat bahwa:
1)      Akad musaqah itu dilakukan sebelum buah itu layak dipanen.
2)      Tenggang waktu yang ditentukan jelas.
3)      Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.
4)      Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu.
Menurut ulama Hambaliyah, yang boleh dijadikan objek musaqah adalah terhadap tanaman yang buahnya boleh dikonsumsi. Oleh sebab itu, Musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak memiliki buah.
Adapun ulama Syaf’iyah berpendapat bahwa yang boleh dijadikan objek akad masaqah adalah kurma dan anggur saja.
c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.
d.      Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak yang mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, tiga , dan sebagainya.
e.       Lamanya perjanjian harus jelas, karena transaksi ini sama dengan transaksi sewa menyewa agar terhindar dari ketidak pastian.
4.      Berakhirnya Akad Musaqah
Menurut para ulama Fiqih, akad musaqah  berakhir apabila:
a.       Tenggang waktu yang disepakati  dalam akad telah habis.
b.      Salah satu pihak meninggal dunia.
c.       Ada Uzur yang membbuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad
5.      Hikmah Musaqah
Dalam hal ini ada beberapa hikmah, antara lain :
a.       Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga dapat mencukupi kebutuhannya.
b.      Saling tukar manfaat di antara manusia.[3]
c.       Memberi kesempatan pada orang lain untuk bekerja dan menikmati hasil kerjanya, sesuai dengan yang dikerjakan. Sementara itu, pemilik kebun/tanah garapan memberikan kesempatan kerja dan meringankan kerja bagi dirinya.[4]

B.     PENGERTIAN MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
1.      Pengertian
Secara Etimologi, Muzara’ah (المزرعة) adalah wazan مفاعلة   dari kata  الزرع   yang sama artinya dengan  الاءنبات (menumbuhkan). Menurut Terminologi syara’, para ulama berbeda pendapat antara lain:
a.       Ulama’ Malikiyah: Muzara’ah disebut Pengkongsian adalah Bercocok tanam
b.      Ulama’ Hambaliyah: Muzara’ah adalah Menyerahkan tanah kepada orang yang bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman (Hasilnya) tersebut dibagi antar keduanya.
c.       Ulama Syafi’iyah membedakan antara muzara’ah dan Mukhobarah: Mukhabarah adalah mengelola tanah atas sesuatu yang dihasilkan dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah sama seperti mukhobarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.[5]
d.      Syekh Ibrahim Al-Bajuri berpendapat bahwa muzara’ah adalah pekerja mengelola sawah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.[6]
e.       Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.[7]
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa :
Muzara’ah yaitu paron sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari yang punya tanah. Mukhabarah adalah paron sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani(penggarap).[8]
2.      DASAR HUKUM
Sebagian ulama melarang paron tanah semacam ini. Mereka beralasan pada beberapa hadist yang melarang paron tersebut. Hadist itu ada dalam kitab Bukhari dan Muslim, Di antaranya:
Rafi’ bin khadij berkata, “diantara Ansor yang paing banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagin tanah itu berhasil dan baik dan yang lain tidak berhasil, oleh karena itu Rasulullah SAW melarang paron dengan cara demikian.” (HR. Bukhori).
Ulama lain berpendapat tidak ada halangan. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khattabi, mereka mengambil alasan Hadist Ibnu Umar: Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi saw. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan,baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahun(Palawija),.”(HR. Muslim).[9]
Imam Hanafiyah dan Jafar tidak mengakui keberadaan muzara’ah dan menganggapnya fasid. Begitu pula imam Syafi’i, tetapi sebagian ulama Syafi’iyah mengakuinya dan mengkaitkannya dengan musaqah (Pengelolaan Kebun) dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi mereka, tidak membolehkan Mukhabarah sebab tidak ada landasan yang membolehkannya.
Golongan Ulama Hanafiyah, jafar, Imam Syafi’i berpendapat bahwa Kerja sama Nabi dengan orang Khaibar dalam mengelola tanah bukan termasuk Muzara’ah dan Mukhobarah, melainkan pembagian atas hasil tanaman tersebut dengan membaginya. Seperti dengan sepertiga atau seperempat, dari hasilnya yang didasarkan anugrah (tanpa biaya) dan kemaslahatan. Hal itu diperbolehkan.
Abu yusuf, dan Muhammad (sahabat imam Abu Hanifah), Imam Malik, Imam Ahmad, dan Abu Dawud Azh-Azahiri berpendapat bahwa Muzara’ah Diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Jama’ah dari ibnu Umar bahwa Nabi SAW. Bermuamlah dengan Ahli Khaibar dengan setengah dari sesuatu yang dihasilkan dari tanaman, baik buah-buahan maupun maupun tumbuh-tumbuhan. Selain itu muzaro’ah dapat dikategorikan perkongsian antara harta dan pekerjaan, sehingga kebutuhan pemilik dan pekerja dapat terpenuhi. Tidak jarang pemilik tidak dapat memelihara tanah, sedangkan pekerja mampu memeliharanya dengan baik, tetapi tidak memiliki tanah. Dengan demikian, dibolehkan sebagaimana dalam mudhorobah.[10]
3.      Rukun dan Sifat Akad Muzara’ah
Jumhur ulama yang membolehkan akad muzaro’ah mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi sehingga akad dianggap sah.
Rukun muzaro’ah menurut mereka sebagai berikut:
a)      Pemilik tanah
b)      Petani penggarap
c)      Objek Al-Muzaro’ah, dan
d)     Ijab dan kabul
Setiap muslim yang akan melaksanakan akad muzara’ah, harus mengetahui syarat-syarat muzara’ah, antara lain:
a)      ‘Aqidain, yakni harus berakal dan Balig.
b)      Tanaman harus jelas.
c)      Tanah pertanian, yaitu:
1)      Tanah itu menurut Adat boleh digarap dan menghasilkan.
2)      Batas-batas tanah itu Jelas.
3)      Tanah itu diserahkan ke petani sepenuhnya.
d)     Hasil Panen :
1)      Pembagian hasil panen dibagi masing-masing pihak harus jelas.
2)      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad.
e)      Waktu, syaratnya adalah:
1)      Waktunya telah ditentukan,
2)      Waktu itu telah memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti menanam padi waktunya kurang lebih 4 bulan (tergantung teknologi yang dipakainya) atau menurut kebiasaan setempat, dan
3)      Waktu tersebut memungkinkan kedua belah pihak hidup menurut kebiasaan.[11]
4.      Hikmah Muzara’ah
Bumi diciptakan untuk kepentingan manusia, maka manusialah yang harus mengolahnya, menanaminya dengan berbagai jenis tanaman untuk kepentingannya juga sebagai bentuk syukur kepada Allah swt. atas segala karunianya. Maka sangat penring bagi manusia umtuk menuntut ilmu tentang pertanian agar lebih maksimal mandapatkan manfaat dari bumi yang diolahnya dengan cara bertani.
Muzara’ah menjadikan pemilik tanah dan penggarap tanah bersinegi untuk bersama-sama mendapatkan bagian atas apa yang sudah disumbangkan kedua belah pihak dengan penuh keikhlasan dan rida atas dasar saling tolong-menolong dan percaya sehingga saling menguntungkan tidak saling merugikan.[12]




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal.
Rukun Musaqah:
1.      Dua orang/pihak yang melakukan transaksi.
2.      Tanah yang dijadikan objek musaqah
3.      Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap
4.      Ketentuan mengenai pembagian hasil Masaqah.
5.      Shighat (Ungkapan) Ijab dan Qabul
Muzara’ah yaitu paron sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani (orang yang menggarap).  Mukhabarah adalah paron sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari yang punya tanah.

B.     SARAN
Dari penjelasan kami di atas kami menyadari masih banyak hal yang belum terselesaikan dalam makalah ini. Kami menyadari akan keterbatasan dan kekurangan baik dalam penulisan, pemahaman, dan sumber rujukan. Oleh karena itu, kami berharap semoga hal-hal yang belum terselesaikan dalam makalah ini dapat diselesaikan oleh pemakalah lain dan kami membuka kritik dan saran yang sifatnya membangun.



DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman ad-Dimasyqi, Muhammad. 2014. Fiqih empat Mazdhab. Bandung:              Hasyimi
Gazali, Abdurrahman. dkk. 2015. Fiqih Muamalah. Jakarta: PRENADA MEDIA GRUP
Rasjid, Sulaiman. 2014. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Syafi’i, Rahmat. Fiqih Mu’amalah. 2001. Bandung: Pustaka Setia       


[1] Abdurrahman Gazali, dkk., Fiqih Muamalah, (Jakarta: PRENADAMEDIA GRUP, 2015), Hal. 109-110
[2] Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih empat Mazdhab, (Bandung:  Hasyimi,2014), Hal. 278
[3] Ibid., Hal. 110-113
[5] Rakhmat Syafi’i, Fiqih Mu’amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) Hal. 205-204
[7] Abdurrahman Gazali, dkk, Op.cit., Hal. 114
[8] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014) Hal. 301
[9] Ibid., Hal. 302
[10] Rachmat Syafi’i, Op.cit., Hal. 206-207
[11] Abdurrahman Al-Gazali. Dkk, Op.cit., Hal., 115-117